Pemuda Jordan yang Periang - Penembak Jitu Andalan
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah yang menguasai seluruh nasib makhluqNya dan Dia menetapkan bahwa orang-orang Kafir pasti dikalahkan.
shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Imam Kaum Muttaqin dan Panglima Mujahidin, Muhammad bin Abdullah, shalawat dan salam juga semoga tercurah kepada keluarga Beliau dan para Shahabat Radliallahu’anhum, serta segenap pengikut yang menapak Sunnahnya dan Sunnah Salafush Sholeh, juga segenap hamba Allah yang tsabat di Jalan Jihad fi Sabilillah ini hingga Hari Qiyamat.
Ia dikenal sangat mencintai Al Quran. Ia suka duduk berlama-lama bersama Kitabullah, menghafal dan memahami ayat-ayat Allah. Seorang Hafidzul Quran. Ia seorang ksatria dan pejuang yang tabah, pembawaannya selalu riang dan murah senyum. Dalam usianya yang belia, ia telah mempersembahkan hidupnya untuk Allah. Dia penjaga dan pengawal Din, ketika masa-masa fitnah dan mushibah merajalela. Aku tengah bercerita kepada Anda, tentang Singa Allah yang masih belia ini, salah satu kebanggaan Nahar Al Barid. Dia adalah Muhammad Abu Al Zubaiir Al Urduni, dari Bumi Jordan yang diberkati.
Abu Al Zabir berusia sekitar tujuhbelas tahun, seorang pemuda yang berhijrah dari Jordan dan kemudian menjadi Singa Allah, keperwiraannya jarang ditemukan pada kebanyakan orang. Jika Anda melihatnya, Anda pasti akan merasakan dia sebagai seorang yang soleh dan taat. Dia, semoga Allah ridla padanya, seorang anak yatim dan seorang pelajar yang cerdas. Dalam usianya yang masih belia, dia sangat taqwa kepada Allah. Ketaqwaannya itu mendorongnya untuk berhijrah meninggalkan negerinya Jordania, mempersembahkan diri dan hartanya untuk meninggikan Allah Azza wa Jalla. Abu Al Zabir mengikuti perkembangan berita tentang dunia Islam setiap saat, dan ia menyaksikan situasi dari Ummah ini,ketika poros kekuatan Judeo-Christian (Zionis dan Salibis)bersama para sekutu mereka di negeri Islam menjadi semakin kuat dan menampakkan keangkuhannya. Kemudian mereka mulai melemparkan tuduhan dan stigma buruk terhadap Ummah Islam, memperhinakan Islam dan ummatnya, membunuh kaum muslimin dan merampas hak-haknya. Mereka membantai ummah Islam, anak-anak, kaum perempuan, dan orang tua, darah tercecer sepanjang negeri-negeri, mulai dari Palestina, Iraq, Afghanistan, Cecnhya, dan bumi-bumi Islam lainnya. Melihat seluruh kenyataan ini, Abu Al Zabir berpikir, bagaimana caranya ia dapat menolong saudara-saudaranya, bagaimana ia dapat menolong Din Allah dan Ummat Islam, dengan segala yang ia miliki, harta dan jiwa.
Demikianlah, Abu Al Zabir mulai mencari dan mengintai celah jalan yang dapat membawanya untuk menapak Jihad fi Sabilillah dan meraih syahadah. Allah Azza wa Jalla menolongnya. Allah membukakan jalan baginya dan menuntunnya berhijrah ke Bumi Lubnan (Libanon). Ia mengikuti pelatihan dasar di Kamp Burj Al Barajni di Beirut. Di sana ia mendapatkan berbagai pelatihan penggunaan senjata ringan hingga menengah. Ia kemudian dipindahkan ke Kamp Nahar Al Barid di wilayah Utara Libanon, di mana ia tinggal di sana, berribath di bumi yang menjadi front terdepan pergolakan hingga taqdir Allah datang kepadanya.
Abu Al Zabir, semoga Allah menyayanginya, adalah seorang yang berpikir rasional, obyektif, dan bijaksana. Belum pernah ada orang melihatnya marah pada saudaranya yang lain; ia dikenal sangat sholeh, santun, ramah, periang, dan suka humor. Siapa saja yang menyertainya pasti akan senang dan sayang padanya. Ia seorang yang cerdas dan berwawasan luas. Tetapi jangan remehkan pembawaannya yang santun dan rendah hati itu, karena ia seorang yang pemberani tak kenal kompromi. Dalam usianya yang belia, ia tidak pernah minum khamr, sangat takut kepada Allah. Hatinya lembut, besar perhatiannya terhadap nasib Ummat Islam di seluruh dunia. Seorang yang ramah dan lemah lembut pada siapa saja. Ia banyak mendapat pengarahan dan teladan dari salah seorang Ikhwah yang juga berasal dari Jordania, Akh Usamah, semoga Allah ridlo padanya, salah seorang yang menjadi anggota dewan pimpinan Tanzim Fatah Al Islam.
Ketika pertempuran antara hamba-hamba Allah melawan kaum kuffar pecah di Nahar Al Barid, Abu Al Zabir di antara pejuang yang terjun dalam kancah pertempuran sejak hari pertama. Betapa bergembiranya ia, ketika mengetahui saatnya telah tiba untuk berjuang mempertahankan Din, saling berhadapan dengan balatentara Salib. Abu Al Zabir seorang sniper, penembak jitu andalan. Ketika pertempuran pecah, ia menempatkan dirinya di tempat-tempat strategis di puncak gedung-gedung tinggi. Mata elangnya tajam mengawasi setengah wilayah Nahar Al Barid.
Demikianlah seorang pejuang, ketaatannya pada perintah sang komandan membuat ia harus bertahan selama enam hari penuh pada posisinya. Enam hari penuh di satu posisi, enam hari penuh di posisi yang lain, demikian seterusnya. Hampir setiap tiga hari, ia menembak mati sepuluh tentara dari pasukan salib. Tetapi ia tidak puas hanya membidik dan menembak saja. Setelah lewat sebulan, pengalaman telah mengasah keahliannya dalam menembak jitu dan pengintaian, sehingga ia diberi tugas berselang-seling, kadang tugas sebagai sniper, kadang tugas sebagai pengintai.
Ia juga dilibatkan dalam beberapa operasi untuk memukul garis serang terdepan musuh. Ia bertugas mengintai dan mencari titik lemah dari pasukan musuh lalu menerobos dan memecah garis serangnya. Ia singa perang yang tidak mengenal takut, berpindah dari gedung ke gedung yang ada di Kamp Nahar Al Barid. Khususnya ia banyak ditempatkan di blok Al Mehamrah di mana tempat itu adalah medan perang paling sengit antara singa-singa tauhid melawan balatentara salib.
Abu Al Zabir dikenal sangat berani, ia sering memilih gedung yang paling dekat dengan musuh. Ia menyusun rencana operasi untuk mengawasi dan mengeksplorasi daerah di lingkungan Safuri di Jalan Mehamrah. Ia memulai di gedung Naji El Ali sebelum shubuh hingga jam 06.30, kemudian ia shalat. Diteruskan mulai jam 06.30 hingga 09.30 ia mengintai dari ketinggian para tentara salib yang menjadi mangsanya. Ia seorang fotografer yang terampil sehingga ia kadang memotret semua tentara musuh yang ia bunuh. Ia hanya tertawa riang jika saudara-saudaranya memintanya untuk melatih mereka menembak jitu.
Suatu hari, di tengah sengitnya pertempuran, kondisi menjadi sedemikian menegangkan di kompleks Naji El Ali, sebuah gedung setinggi tujuh lantai. Gedung ini menjadi arena pertempuran dan perebutan antara singa-singa Ar Rahman dan pasukan salib yang berusaha berulang kali menerobos masuk untuk merebut gedung. Setelah melalui perlawanan dan pertempuran yang sengit, tentara salib berhasil menguasai sebagian besar area gedung, kemudian mereka menempatkan penembak-penembak jitunya di setiap jendela gedung.
Mereka kemudian segera mengumumkan bahwa area Naji El Ali telah dikuasai. Musuh juga mengibarkan bendera mereka di atas gedung itu. Tetapi tentara kafir ini tidak menyadari apa yang tengah menanti mereka. Mereka tidak mengetahui, seorang pemuda ksatria tengah menunggu dengan sabar untuk melancarkan rencana operasinya terhadap tentara salib ini.
Abu Al Zabir menyusun satu grup kecil berjumlah sekitar lima mujahidin untuk merebut kembali Naji El Ali dari tangan musuh. Dengan satu komando, resimen kecil ini merangsek masuk ke Naji El Ali. Pertempuran kembali pecah antar tentara Tauhid dan tentara penyembah salib. Mujahidin berhasil membunuh banyak tentara musuh dan menyebabkan sebagian yang lain terluka. Begitu sengit pertempuran itu, berlangsung dari ruang ke ruang, lantai demi lantai, hingga pertempuran berpindah ke lantai yang lebih tinggi. Beberapa jam pertempuran berlalu, grup mujahidin yang bertempur di dalam gedung itu kehabisan amunisi. Para Mujahid meminta saran pada Abu Al Zabir apa yang harus dilakukan. Abu Al Zabir kemudian mengeluarkan setumpuk mercon dari kantongnya dan membagikannya kepada anggota pasukan kecilnya itu. Pertempuran kini dilanjutkan, dan Mujahidin melontarkan mercon ke arah pasukan musuh. Subhanallah! Tentara Salib itu malah panik, berteriak ketakutan, saling menembak, dan lari tak terkendali, menyangka bahwa suara ledakan mercon yang menggema akibat pantulan dari dinding gedung itu adalah bunyi rentetan sabuk bom atau high explosive. Akhirnya tentara Kristen Maronit itu mundur dari Naji El Ali dalam keadaan malu dan dihinakan. Setelah pertempuran reda dan tentara musuh telah lari pergi, Saudara kita Abu Al Zabir menurunkan bendera Libanon dan mengibarkan bendera Tauhid di atas gedung Naji El Ali.
Abu Al Zabir juga orang pertama yang menyampaikan pada para ikhwah lainnya, bahwa panji Tauhid telah kembali berkibar di atas gedung Omar Kannan dan Naji El Ali. Ketika tentara Maronit berhasil menguasai gedung Naji El Ali dan mengumumkannya, para wartawan dan berbagai media massa bergegas menuju komplek Naji El Ali. Di saat orang-orang media ini tiba di Naji El Ali, mereka terkejut dan takjub menyaksikan Panji Tauhid – Laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah, berkibar dengan gagahnya di atas gedung yang awalnya diklaim telah dikuasai oleh tentara salib.
Setelah tinggal selama satu pekan di Naji El Ali dan setelah mengamankan/membersihkan area tersebut, Abu Al Zabir dan pasukannya mendapat perintah untuk berpindah ke lingkungan Saasaa. Di area ini, Abu Al Zabir memimpin satu grup mujahidin yang ditempatkan di tepian sungai tepat di garis depan pertempuran. Semoga Allah memberkahi ruhmu, ya Abu Al Zabir! Engkau komandan yang brilian dan pemimpin lapangan yang cerdas. Sungguh, kami berdoa engkau kini tengah bergembira di Firdaus yang tertinggi, insya Allah.
Seorang penyusun strategi yang brilian. Ia tidak hanya puas menyerang musuh dengan senjata, tapi ia juga merancang dan melancarkan perang psikologi. Perang psikologi ini di antaranya dengan melancarkan orasi dan pidato yang menggema dari gedung ke gedung (Front perang di Nahar Al Barid kebanyakan adalah front perang kota, dari gedung ke gedung. Pent). Dalam perang psikologi ini, Abu Al Zabir ambil bagian juga sebagai orator. Abu Riyad Al Maqdisi (Syakir Al Absi) adalah orang pertama yang menggunakan para orator untuk mengumandangkan azan. Abu Al Zabir memerintahkan pada anggota grup resimennya untuk menggunakan suara azan yang ia kumandangkan sebagai awal komando. Setiap ia mengumandangkan azan, maka seluruh anggota grupnya akan memulai menembakkan senjata ke arah musuh. Setelah ia selesai mengumandangkan azan, ia lalu berorasi dengan berbagai ekspresi yang menggetarkan, seperti, “Menyerahlah kalian semua, tempat ini sebentar lagi kami bakar! Penggal kepala orang kafir ini! Eksekusi tawanan ini!”. Hanya tiga menit setelah Akh Abu Al Zabir menyelesaikan orasinya, tentara musuh lari mundur meninggalkan gedung terdekat sembari melindungi gerak mundurnya dengan hujan mortar dan artileri.
Abu Al Zabir menggunakan taktik perang psikologi ini berkali-kali di berbagai area bersama anggota pasukannya.
Ia memiliki banyak taktik yang sulit diduga. Ia mengumpulkan sisa-sisa bom, eksplosive, dan bekas energy shell (rangka aki/baterai) buatan Amerika yang tidak sempat meledak, lalu merakitnya menjadi booby-traps (semacam eksplosive/ranjau anti personal) yang dilontarkan/ditebar ke arah tentara salib yang tengah menyerbu.
Satu hari ketika ia tengah mengumpulkan bom, seperti biasanya, sebuah energy shell buatan Amerika meledak mengenai dirinya, menyebabkan cedera pada kepala dan kakinya. Salah satu jari kakinya hancur karena ledakan itu. Saudara-saudaranya membawa Abu Al Zabir ke rumah sakit, dokter berkata ia harus mengamputasi jari kaki yang hancur itu, tetapi Abu Al Zabir tertawa dan bergurau dengan berkata pada sang dokter, “Saya tidak ingin jari kaki itu dipotong. Saya tidak ingin berjalan terpincang-pincang di Surga karena jari kaki yang dipotong ini”. (Subhanallah! Ia masih sempat bergurau dan tertawa, padahal ia cedera cukup parah akibat ledakan itu). Tetapi atas ijin Allah dan kuasaNya, Allah menyembuhkan luka dan cedera yang diderita Abu Al Zabir.
Sepekan kemudian, ia sudah kembali ke tempat yang menjadi pos ribathnya bersama pasukannya di tepi sungai. Pertempuran pecah lebih sengit. Tentara salib Libanon menyerbu dalam jumlah masiv, pertempuran berjalan dari gang ke gang, rumah ke rumah, gedung demi gedung, bahkan ruang demi ruang. Ksatria kita Abu Al Zabir dan anggota grup Mujahidinnya bertahan menghadapi serangan musuh dengan sabar dan tabah. Keberanian dan kepahlawanan mereka tiada tara. Sepasukan besar tentara kafir Libanon mengepung ruang tempat Abu Al Zabir bertahan. Tentara musuh kemudian memberondong ruang tersebut dan menghujani dengan lontaran granat. Ledakan susul menyusul lontaran granat itu membuat Sang Singa Allah yang perwira ini terluka parah, sekujur tubuhnya cedera. Salah seorang ikhwan Mujahidin menyeret tubuhnya keluar dari ruangan yang runtuh akibat ledakan itu. Sembari memeluk tubuh Abu Al Zabir yang terluka parah, ikhwan Mujahid ini bergerak mundur mencari tempat berlindung dan bertahan. Di dalam pelukan lengan saudaranya, Abu Al Zabir tidak henti-hentinya berdzikir mengagungkan Asma Allah, darah mengucur terus dari tubuhnya. Sesaat sebelum nafas terakhir dihembuskan, Abu Al Zabir mengucapkan Nama Allah dan menyampaikan pujian dan syukur kepadaNya. Lalu ruhnya lepas dari jasadnya, berangkat ke langit menemui Ar Rahman, sementara sang Ikhwan Mujahid yang menyelamatkannya masih memeluk jasad Abu Al Zabir. Sekujur tubuhnya bersimbah darah sang syahid (insya Allah). Ia tidak menyadari bahwa Sang Komandan perwira ini telah berpulang ke Rahmatullah.
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah berkata:
” إذا وقف الناس للحساب، جاء قوم واضعو سيوفهم على عواتقهم تقطر دماً فازدحموا على باب الجنة، فقيل: من هؤلاء؟ قيل: الشهداء كانوا أحياء مرزوقين”
“Di Hari Qiyamat, ketika orang-orang tengah panik mencari tempat perlindungan, ada sekelompok orang dalam keadaan aman, dilindungi naungan pedang yang meneteskan darah, bertempat di gerbang Surga. Orang-orang bertanya: Siapakah mereka? Dijawab: para shuhada yang hidup dengan rezky”
Semoga Allah ridla kepada engkau Ya Abu Al Zabir; Engkau yang terbaik di antara seribu perwira, engkau perwira pilihan di antara kaum pilihan. Wahai Abu Al Zabir, siapakah yang dapat menyamai teladan yang telah engkau tinggalkan? Siapakah yang dapat menapak jejak yang engkau pijak? Hati ini bersedih pilu, mata ini basah menangis… Seakan aku masih melihat engkau di sana, berjaga dalam ribath… Seakan kematianmu baru hari kemarin…
Engkau pejuang yang tabah, seorang perwira pemberani. Kami tidak akan menyampaikan dan menetapkan segala sesuatu di luar kehendak Allah. Insya Allah, kita akan bertemu lagi dalam kesempatan yang baik.
Doakan sentiasa saudara kita, para Syuhada dan Mujahidin
Semoga Allah memberkahi Rasulullah Muhammad dan keluarga Beliau dan para Shahabat Radliallahu’anhum hingga Hari Qiyamat.
Dan kata terakhir kami…
Segala Puji Bagi Allah, Rabb orang-orang Mu’min
Saudara kalian dari
Media Department
Fatah Al Islam
16 Jamadi Al-Akhir 1429
20 Juni, 2008
Penterjemah : Forum Islam Al-Tawbah
Komentar :
Post a Comment
Berikan Komentar Anda