PENGOBATAN DENGAN RUQYAH UNTUK PENYAKIT JIWA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah seorang mukmin bisa menderita sakit jiwa ? Apakah obatnya secara syara ? perlu diketahui bahwa pengobatan modern mengobati penyakit-penyakit ini hanya dengan obat-obatan masa kini saja ?
Jawaban
Tidak disangsikan lagi bahwa manusia bisa menderita penyakit-penyakit jiwa berupa ‘hamm’ (sakit hati) terhadap masa depan dan ‘huzn’ (duka cita) terhadap masa lalu. Penyakit-penyakit kejiwaan lebih banyak mempengaruhi tubuh daripada penyakit-penyakit anggota tubuh. Pengobatan penyakit-penyakit ini dengan perkara syar’iyah (ruqyah) lebih manjur daripada pengobatannya dengan obat-obatan yang biasa digunakan.
Di antara obat-obatan adalah hadits shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Tidak ada seorang mukmin yang menderita hamm, atau, ghamm, atau duka cita, lalu ia membaca, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hamba laki-lakiMu, anak hamba perempuanMu, ubun-ubunku di tanganMu, berlaku hukum engkau padaku, qadhaMu sangat adil padaku, aku memohon kepadMu dengan segala nama yang Engkau namakan diriMu dengannya, atau Engkau beritahuk kepada seseorang makhlukMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu, atau hanya Engkau yang mengetaguinya dalam ilmu ghaib di sisiMu, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penerang duka citaku, dan hilangnya hamm (sakit hati)ku. Melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melapangkan darinya” [Hadits Riwayat Ahmad dalam Al-Musnad 3704-, 4306]
Siapa yang menginginkan tambahan lagi, rujuklah (bacalah) kepada kitab yang ditulis para ulama dalam bab dzikir, seperti Al-Wabil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim, Al-Kalim Ath-Thayyib karya Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, Al-Adzkar oleh An-Nawawi, demikian pula Zad Al-Ma’ad karya Ibnul Qayyim.
Tetapi manakala iman lemah, nicaya lemahlah penerimaan jiwa terhadap obat-obatan syar’iyah. Sekarang manusia lebih banyak berpegang kepada obat-obatan nyata daripada berpegang mereka terhadap obat-obatan syar’iyah. Dan manakala iman kuat, niscaya obat-obatan syar’iyah memberikan implikasi secara sempurna, bahkan impilkasinya lebih cepat daripada pengaruh obat-obatan biasa. Sangat jelas bagi kita semua cerita seseorang yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu pasukan (sariyah). Lalu mereka singgah di suatu kaum bangsa Arab. Tetapi kaum/suku yang mereka singgahi tidak memberikan jamuan kepada para sahabat. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki pemimpin kaum tersebut digigit ular. Sebagian mereka berkata kepada yang lain, “Pergilah kepada mereka yang telah singgah/mampir, mungkin saja kalian mendapatkan ahli ruqyah di sisi mereka””. Para sahabat berkata, “Kami tidak akan meruqyah pemimpin kalian, kecuali kalau kalian memberikan kepada kami kambing sebanyak begini dan begini”. Mereka menjawab, “Tidak mengapa”. Lalu salah seorang sahabat pergi membacakan surah Al-Fatihah. Orang yang digigit ular tadi langsung berdiri, seolah-olah berlepas dari ikatan. Seperti inilah, bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh atas laki-laki ini, karena ia muncul dari hati yang penuh iman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda setelah mereka kembali kepada beliau” Tahukan engkau bahwa ia adalah ruqyah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari, Kitab Ath-Thibb 5749, Muslim, kitab As-Salam 2201]
Namun di zaman kita sekarang ini, iman dan agama telah lemah. Manusia berpegang atas perkara-perkara yang terasa dan nampak. Sebenarnya mereka diuji padanya. Akan tetapi di hadapan mereka terdapat para ahli sulap dan mempermainkan akal, kemampuan, dan harta manusia. Mereka meyakini sebagai qurra (pembaca Al-Qur’an) yang bersih, namun mereka sebenarnya adalah pemakan harta dengan cara batil. Manusia berada diantara dua sisi yang kontardiktif, di antara mereka ada yang bersikap ekstrim dan tidak melihat adanya implikasi secara absolute terhadap bacaan. Ada pula yang bersikap ekstrim dan bermain dengan akal manusia dengan bacaan bohong serta menipu. Ada pula yang berada di tengah.
[Fatawa Al-Ilaj bil Qur’an wa Sunnah – Ar-Ruqa wa ma ya’taallaqu biha, karya Syaikh bin Baz, Ibn Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da’imah, hal. 25-27]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
Komentar :
Post a Comment
Berikan Komentar Anda