Jamu atau dikenal juga dengan suplemen makanan bermanfaat bagi tubuh kita apabila dibuat 100% dari bahan alami namun apabila dicampur dengan zat tambahan kimia lainnya maka dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya buat tubuh, berikut ini tuturan dari Kompas mengenai fenomena Jamu Campuran Kimia: "Sayangnya, ada juga jamu-jamuan yang pada bungkus luarnya tertera nomor registrasi Badan POM dan Depkes, tetapi ternyata—setelah ditelusuri lebih lanjut—palsu. Padahal, masyarakat sulit untuk mengecek apakah nomor Badan POM tersebut asli atau karangan belaka. Inilah yang membahayakan sebab kita tidak pernah tahu apa saja bahan-bahan yang terkandung dalam jamu-jamuan tersebut. Kompas edisi Kamis, 14 Desember 2006, menurunkan tulisan berjudul "Cara Bijak Pilih Obat Tradisional". Di dalamnya dibahas mengenai adanya 93 jenis jamu yang mengandung obat keras. Bahan-bahan obat keras tersebut di antaranya fenibutason, metampiron, CTM, piroksikam, deksametason, allupurinol, sildenafii sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol." Produk - produk suplemen Dr. Liza diproduksi oleh PT. Liza Herbal International (Dr. Liza), Bogor, Jawa Barat yang berasal dari 100% Herbal Alami tanpa Zat Tambahan & Pengawet Kimia. Produk Dr. Liza telah terdaftar di Badan POM, Dinas Kesehatan, mendapatkan Sertifikat Halal dari MUI, dan telah melalui test serta supervisi para ahli dari Laboratorium IPB Bogor.
Kompas, 7 Sept 2007
Jamu merupakan ramuan tradisional yang sangat umum ditemukan di Indonesia, yang digunakan baik sebagai tambahan/ suplemen sehari-hari maupun sebagai "obat" untuk berbagai macam penyakit. Khusus bagi golongan masyarakat menengah-bawah, jamu masih kerap menjadi pilihan pertama untuk mengatasi gangguan kesehatan sehari-hari.
Tidak semua jamu-jamuan di Indonesia masuk ke dalam daftar Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Jamu gendong, misalnya, yang pembuatannya dilakukan langsung oleh si penjual jamu dengan ilmu yang turun-temurun. Akan tetapi, banyak pula jamu-jamuan yang masuk ke dalam daftar Badan POM dan Depkes serta memiliki nomor registrasi resmi.
Sayangnya, ada juga jamu-jamuan yang pada bungkus luarnya tertera nomor registrasi Badan POM dan Depkes, tetapi ternyata—setelah ditelusuri lebih lanjut—palsu. Padahal, masyarakat sulit untuk mengecek apakah nomor Badan POM tersebut asli atau karangan belaka. Inilah yang membahayakan sebab kita tidak pernah tahu apa saja bahan-bahan yang terkandung dalam jamu-jamuan tersebut.
Kompas edisi Kamis, 14 Desember 2006, menurunkan tulisan berjudul "Cara Bijak Pilih Obat Tradisional". Di dalamnya dibahas mengenai adanya 93 jenis jamu yang mengandung obat keras. Bahan-bahan obat keras tersebut di antaranya fenibutason, metampiron, CTM, piroksikam, deksametason, allupurinol, sildenafii sitrat, sibutramin hidroklorida, dan parasetamol.
Hampir semua bahan tersebut dapat menyebabkan efek samping langsung terhadap lapisan sel pelindung pada lambung (mukosa lambung), yaitu peptic ulcer (borok pada dinding mukosa lambung). Peptic ulcer, merupakan penyebab utama bocor lambung (± 70 persen) selain keganasan/kanker pada lambung (± 30 persen). Masyarakat pada umumnya mengetahui penyakit peptic ulcer sebagai penyakit mag. Pengobatan yang tidak adekuat akan mengakibatkan komplikasi lebih lanjut berupa perdarahan lambung, keganasan dan akhirnya bocor lambung.
Penyebab tersering dari peptic ulcer adalah produksi asam lambung yang berlebih, obat-obatan, serta infeksi Helicobacter pylori, sejenis bakteri tahan asam yang memiliki sifat khusus dapat memproduksi enzim urease yang dapat mengubah derajat keasarnan di dalam lambung menjadi suasana basa. Dengan demlkian, bakteri itu dapat hidup dan berkembang biak di dalam mukosa lambung.
Produksi asam lambung berlebih dapat disebabkan oleh faktor stres dan rokok, sedangkan infeksi H.Pylori dapat dieradikasi dengan obat-obatan tertentu sehingga pameo saat ini berubah dari no acid, no ulcer (1910) menjadi no H.Pylori, no ulcer (1989).
Obat-obatan yang paling sering menyebabkan peptic ulcer adalah golongan anti-inflamasi non-steroid (misalnya, paracetamol, fenilbutason, metampiron), serta golongan obat-obat steroid (misalnya, prednison, deksametason). Semua hal di atas menjadi penyebab utama terjadinya kebocoran lambung yang belakangan ini meningkat tajam insidensinya di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.
Bukan obat-obatan
Jamu-jamuan sebenarnya dimasukkan ke dalam golongan suplemen makanan, bukan obat-obatan, yang dibuat dari bahan-bahan alami berupa bagian dari tumbuhan, seperti akar-akaran, daun-daunan, dan kulit batang. Ada juga yang menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya. Efeknya juga tidak akan langsung dirasakan oleh peminumnya. Karena sifatnya berupa suplemen, jika ada jamu yang efeknya "cespleng", justru harus dicurigai mengandung bahan obat-obatan kimia tertentu.
Dalam tahun ini, kejadian pasien dengan bocor lambung (perforasi gastef) meningkat drastis. Di RS Hasan Sadikin, Bandung, kasus pasien dengan bocor lambung pada tahun 2005 sejumlah 26 orang, tahun 2006 sejumlah 38 orang, dan 2007 dari Januari hingga Juli (6 bulan) saja terdapat peningkatan menjadi 53 pasien.
Insidensi ini tampaknya akan meningkat terus. Hal ini serupa dengan penelitian di RS Immanuel, Bandung, di mana kasusnya pada tahun 2006 tidak lebih dari 10 orang, tetapi dalam enam bulan terakhir (Januari-Juli 2007) kasusnya mencapai 40 orang dan cenderung bertambah. Mayoritas kasusnya adalah pria (77 persen), yang sesuai dengan insidensi populasi di seluruh dunia. Usia terbanyak berada di kisaran 50-70 tahun, dengan usia penderita termuda 22 tahun, dan tertua 80 tahun (rata-rata 60 tahun).
Hal yang menarik mengenai kasus-kasus bocor lambung di kedua rumah sakit pendidikan di Bandung tersebut adalah seluruh penderita adalah pengonsumsi jamu-jamuan kronis (menahun) akibat penyakit rematik, nyeri kepala, flu, dan sebagainya. Kebanyakan penderita membeli jamu-jamu tersebut dari warung-warung jamu dan bukan dari produsen yang terpercaya.
Hubungan langsung antara konsumsi jamu-jamuan "gelap" ini dengan peningkatan kasus bocor lambung yang sangat drastis memang belum jelas terbukti. Namun, dari hasil pemeriksaan patologi anatomi (pemeriksaan jaringan di sekifar dinding lambung yang bocor) menunjukkan tidak adanya kuman H.pylori yang merupakan penyebab paling banyak borok dinding mukosa lambung, maupun adanya keganasan/tumor pada mukosa lambung penderita.
Hal ini yang menimbulkan suatu hipotesis penyebab lainnya, yaitu konsumsi obat-obat yang dapat mengiritasi mukosa lambung. Salah satunya adalah jamu-jamuan, yang menurut Badan POM dicampur dengan obat-obat kimia keras.
Beberapa gejala
Penderita dengan perforasi gaster umumnya datang dengan keluhan nyeri perut mendadak dan sangat hebat dirasakan di perut bagian atas (ulu hati, mirip gejala penyakit mag), wajah pucat, keringat dingin, napas pendek-pendek, demam, dan muntah-muntah, khususnya pa-da jam-jam pertama setelah kebocoran terjadi.
Setelah beberapa jam, penderita biasanya tampak lebih baik, nyeri berkurang, muntah-muntah berhenti, suhu dan nadi normal, bahkan penderita bisa tidur. Namun, justru pada periode "intermediate' inilah waktu yang paling baik untuk dilakukan tindakan segera berupa operasi/pembedahan sehingga diagnosis penderita harus dilakukan dengan cepat dan benar.
Pada periode lanjut (lebih dari 12 jam setelah kebocoran lambung terjadi), pasien akan memburuk dengan cepat dan mulai masuk ke dalam keadaan peritonitis (peradangan hebat pada rongga perut) dan sepsis (infeksi hebat. Racun/toksin bakteri sudah menyebar ke seluruh tubuh) akibat kontaminasi rongga perut oleh asam lambung dan isi lambung lainnya, berupa sisa makanan dan enzim-enzim pencernaan.
Jika penderita baru ditangani pada periode lanjut ini, atau bahkan lebih lama, prognosis (kemungkinan yang terjadi pada penderita) pada pasien tersebut akan menjadi lebih buruk. Apalagi diperberat lagi dengan faktor usia penderita yang umumnya sudah lanjut, serta penyakitpenyakit usia lanjut lainnya.
Penanganan penderita yang sudah didiagnosis sebagai perforasi gaster adalah penanganan secara pembedahan karena kebocoran tersebut harus dicari dan ditutup oleh ahli bedah yang bersangkutan. Umumnya, jika penderita datang pada periode-periode awal penyakitnya, pasien dapat sembuh sempurna dalam waktu 7-10 hari.
Namun, penelitian di RS Immanuel pada enam bulan terakhir menunjukkan 57 persen saja penderita dengan perbaikan atau sembuh sempurna, 22 persen meninggal dunia, sisanya dibawa pulang paksa oleh keluarga atau hal lainnya. Pada kasus penderita yang meninggal dunia, 89 persen akibat menolak dioperasi atau keadaannya yang sudah sangat berat sehingga tidak mungkin lagi untuk dilakukan pembiusan. Hal ini menunjukkan bahwa level of patient awareness (tingkat kesadaran) masyarakat kita masih sangat rendah untuk kasus ini, apalagi jika dokter yang pertama menanganinya juga kurang aware terhadap penyakit ini.
Manajemen paling baik untuk penderita perforasi gaster adalah pencegahan. Sebab, jika kebocoran lambung sudah terjadi, penanganannya akan menghabiskan banyak biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pasien, keluarga, rumah sakit, dan ujungnya adalah negara kita. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan langsung konsumsi jamu-jamuan "gelap" dengan penyakit bocor lambung pada penderita.
DR ROYS A PANGAYOMAN SPB
Dosen Fakidtas Kedokteran Universitas Krisfen Maranatha Bandung
Komentar :
Post a Comment
Berikan Komentar Anda