Ash-Shon‘ani berkata: “Kewajiban berjihad dengan harta adalah: menafkahkannya untuk kebutuhan dalam jihad dan senjata, atau yang semisal. Inilah yang bisa disimpulkan dari beberapa ayat Al-Quran;
جَاهِدُوْا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
“…berjihadlah dengan harata dan jiwa kalian.”
Imam Al-‘Allamah Hamud Al-‘Uqla berkata: “Adapun jihad dengan harta, ia memiliki peran yang sangat penting. Sebab orang-orang yang berperang tidak bisa tidak pasti membutuhkannya, untuk kepentingan mengamankan senjata dan logistik, mengkontrol anggaran setiap tentara, mengobati mereka yang terluka dan semua yang dibutuhkan dalam pertempuran. Maka, jihad dengan harta merupakan penyempurna jihad dengan jiwa.”
Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan: jika mujahidin membutuhkan harta, maka ketika itu menyimpan harta haram hukumnya, harta tersebut wajib dinafkahkan untuk kepentingan jihad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang firman Alloh Ta‘ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ اْلأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Alloh. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alloh, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)
Ayat ini berisi penjelasan tentang kondisi orang yang mengambil harta bukan pada jalannya yang benar, atau menahan untuk memberikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Kemudian Alloh mengatakan:
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُوْنَهَا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Alloh,
… ayat ini mencakup orang yang menyimpan harta dengan tidak mau memberikan nafkah wajib yang harus ia berikan pada jalan Alloh, sedangkan jihad adalah amalan yang paling layak disebut fi sabilillah, dan sama saja apakah yang menyimpan itu seorang raja, pemberani, atau orang kaya, atau yang lainnya. Jika dalam hal ini masuk juga harta simpanan dari warisan atau hasil usaha, maka harta simpanan dari sebuah kerjasama lebih layak lagi untuk masuk.” (Al-Fatawa: 28/ 440)
Ibnu Taimiyah juga berkata, “Siapa yang tak mampu berjihad dengan fisiknya dan mampu berjihad dengan hartanya, ia wajib berjihad dengan hartanya, dan inilah kesimpulan Imam Ahmad dalam riwayat Ibnul Hakam dan yang ditetapkan secara tegas oleh Al-Qodhi di dalam Ahkamul Quran pada pembahasan surat At-Taubah pada firman Alloh Ta‘ala:
انْفِرُوْا خِفَافاً وَثِقَالاً
Berangkatlah berperang, baik dalam keadaan ringan atau berat…
… dengan demikian, orang yang diberi kemudahan, wajib berinfak di jalan Alloh. Oleh karenanya pula, kaum wanita pun wajib berjihad dengan harta jika ada kelebihan, demikian juga pada harta anak-anak kecil jika memang diperlukan, sama dengan wajibnya nafkah dan zakat. Adanya dua riwayat ini adalah mengenai wajib kifayah, adapun ketika musuh menyerang, maka tidak ada perselisihan sama sekali…” kemudian beliau menambahkan: “Seandainya harta hanya cukup untuk memberi makan orang kelaparan atau jihad saja, yang jika jihad dibiarkan akan menimbulkan bahaya terhadapnya, maka kita harus mendahulukan jihad meskipun orang-orang yang kelaparan mati, ini sama dengan masalah tatarrus bahkan layak didahulukan, sebab dalam masalah tatarrus kita membunuh sesama kaum muslimin dengan perbuatan kita, sedangkan di sini orang-orang yang lapar itu mati dengan perbuatan Alloh.” (Al-Mustadrok ‘Ala Majmu‘ Fatawa tulisan Ibnu Qosim: III/ 214)
Dan begitu juga dengan para penjual senjata, mereka harus menjualnya kepada mujahidin agar bisa digunakan untuk memerangi orang-orang kafir dan mengusir mereka dari negeri kaum muslimin.
Ibnu Taimiyah berkata: “Mengenai masalah harta, jika orang-orang membutuhkan persenjataan untuk jihad, maka orang-orang yang memiliki senjata harus menjualnya dengan harga sebanding, mereka tidak boleh diberi peluang untuk menahan senjata tersebut hingga musuh menguasai. Orang-orang yang ingin berjihad itu juga harus diberi harta benda yang mereka pilih –ini termasuk pemberian yang hukumnya wajib—. Dan orang yang tidak mampu berjihad dengan jiwanya, wajib berjihad dengan hartanya, menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama dan merupakan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. Karena Alloh memerintahkan jihad dengan harta dan jiwa tidak hanya satu tempat dalam Al-Quran. Alloh Ta‘ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللهِ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian…”
Nabi SAW juga bersabda:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku perintahkan suatu perintah kepada kalian, laksanakanlah semampu kalian…”
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dalam Ash-Shohihain. Maka, siapa yang tidak mampu berjihad dengan fisik, kewajiban jihad dengan harta tidak gugur darinya, sebagaimana orang yang tidak mampu berjihad dengan harta tidak gugur darinya kewajiban berjihad dengan fisik.” (Al-Fatawa: 28/ 88)
Al-Qurthubi berkata: “Para ulama sepakat bahwa jika muncul suatu keperluan dari kaum muslimin setelah ditunaikannya zakat, maka harta harus disalurkan untuk keperluan tersebut. Malik berkata: ‘Masyarakat wajib menebus anggota mereka yang tertawan walaupun itu menghabiskan seluruh harta mereka, dan ini juga termasuk ijmak.”
Jihad dengan harta juga wajib bagi kaum wanita dan pada harta anak-anak[1] sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah. Karena menjaga agama lebih diprioritaskan daripada menjaga nyawa, dan menjaga nyawa lebih didahulukan daripada menjaga harta benda. Maka, harta orang-orang kaya tidaklah lebih mahal dan berharga daripada darah-darah mujahidin. Di sini orang-orang kaya harus menyadari hukum Alloh tentang harta yang mereka miliki, di saat jihad sedang memerlukan dan para mujahidin tidak mampu membayar harga beli senjata atau amunisi, di saat yang sama ratusan kaum muslimin meninggal setiap hari, puluhan kali lipat dari jumlah ini dibantai, di negeri mereka sendiri, oleh tangan-tangan kaum kuffar. Sementara itu, orang-orang kaya tenggelam dalam syahwatnya, selain yang dirahmati Alloh.[2]
Termasuk jihad dengan harta adalah semua yang masuk dalam urusan jihad, sejak dari menyiapkan pasukan tempur dan orang-orang yang akan berjihad di jalan Alloh, sebagaimana hadits Zaid bin Kholid:
مَنْ جَهَّزَ غَازِياً فَقَدْ غَزَا
“Barangsiapa menyiapkan bekal orang yang berperang, berarti ia telah berperang.” (Muttafaq ‘Alaih).
Imam Asy-Syaukani berkata, “Maksudnya, menyiapkan sarana-sarana untuk perjalanan dan kebutuhan dasar yang diperlukan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang mampu (berjihad) dengan fisiknya, silahkan ia mengambil harta kaum muslimin sesuai dengan bekal yang ia perlukan. Baik yang ia ambil itu dari harta zakat, atau dari kerabat, atau dari Baitul Mal dan lain-lain. Bahkan, jika di tangan seseorang terdapat harta haram yang tidak memungkinkan lagi untuk dia kembalikan kepada pemiliknya karena tidak tahu di mana ia berada atau yang sejenis dengan ini, atau di tangannya ada titipan, harta gadai, atau harta pinjaman, sementara ia tidak bisa lagi mengetahui di mana pemiliknya berada, maka hendaknya ia infakkan di jalan Alloh, sebab di situlah penyaluran harta seperti itu. Dan siapa yang ingin melepaskan diri dan bertaubat dari harta haram, sementara tidak memungkinkan baginya mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya, hendaknya ia infakkan saja di jalan Alloh atas nama pemiliknya. Sebab itulah cara yang baik untuk berlepas diri darinya. Di samping itu, ia tetap mendapat tambahan berupa pahala jihad.” (Al-Fatawa: 28/ 422)
Termasuk jihad dengan harta adalah membeli keperluan-keperluan perjalanan, tiket perjalanan dan ongkos kendaraan. Demikian juga semua yang dilakukan oleh seorang “koordinator”[3] untuk mempermudah berbagai urusan, sejak urusan komunikasi, persewaan tempat tinggal, dan keperluan-keperluan tambahan yang bisa mempermudah tugas para mujahid, di dalam atau di luar negeri.
Termasuk jihad dengan harta adalah mengamankan keluarga mujahidin, para syuhada dan mereka yang tertawan, sebagaimana sabda Nabi SAW dalam sebuah hadits Zaid di muka:
وَمَنْ خَلَفَ غَازِياً فِيْ أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
“Barangsiapa menjaga keluarga orang yang berperang, maka ia telah berperang.”
Asy-Syaukani berkata, “Demikian juga orang yang menjaga orang yang dia tinggalkan, ia turut menanggung beban berat juga. Sebab orang yang berperang tidak akan bisa melaksanakan aktifitas perang kecuali setelah tercukupinya pekerjaan itu, sehingga orang tersebut seolah-olah ikut dalam perang.” Selesai, dari Nailul Author.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Di dalam As-Sunan disebutkan: bahwasanya Nabi SAW apabila datang harta kepadanya, beliau memberikan dua bagian kepada orang yang sudah berkeluarga dan satu bagian kepada orang yang masih bujang, beliau melebihkan orang yang berkeluarga di atas yang masih bujang; sebab ia membutuhkan nafkah untuk dirinya dan untuk isterinya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Abu Hatim di dalam Shohih-nya, juga oleh Imam Ahmad dalam riwayat Abu Tholib, beliau mengatakan: hadits hasan, lafadznya bersumber dari Auf bin Malik, bahwasanya Rosululloh SAW apabila datang kepada beliau harta fai’, beliau membagikannya hari itu juga; beliau memberi orang yang sudah berkeluarga dua bagian, danorang yang masih bujang satu bagian…”
Ibnu Taimiyah berkata lagi, “Adapun pasukan tempur yang terbunuh atau meninggal dunia, maka isteri dan anak-anaknya yang masih kecil diberi jatah rezeki. Dalam madzhab Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Syafi‘i dan lain-lain disebutkan: bahwa isterinya diberi nafkah sampai ia menikah lagi, anak perempuannya juga diberi nafkah sampai ia menikah, sedangkan anak lelakinya diberi nafkah sampai ia mencapai usia baligh. Setelah itu, anak tersebut harus dijadikan sebagai pasukan tempur jika memang ia mampu berperang. Jika tidak mampu dan ia termasuk orang yang memerlukan dan termasuk orang-orang yang harus diberi harta sedekah, harta kelebihan dari fai’ dan harta masholih (harta yang digunakan untuk kepentingan umum –penerj.), maka ia boleh diberi dari harta tersebut, jika tidak maka tidak.” (Al-Fatawa: 28/ 584 – 586)
Maka sudah menjadi kewajiban untuk mengumpulkan harta sumbangan, sedekah dan zakat, dan menghimbau para pedagang dan orang-orang yang diberi kelapangan serta mengingatkan mereka akan kewajiban mereka dalam urusan jihad.
Mereka juga harus diingatkan dengan firman Alloh Ta‘ala seperti:
وَأَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِيْ إِلَى أَجَلٍ قَرِيْبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS. Al-Munafiqun: 10)
Juga firman Alloh Ta‘ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمُُ لاَّ بَيْعُُ فِيهِ وَلاَخُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqoroh: 254)
Mengenai ayat-ayat seperti ini, Bukhori meletakkan sebuah Bab berjudul: Sedekah Apakah Yang Paling Baik? Dan Bab Sedekah Orang Yang Kikir dan Sehat. Kemudian ia mencantumkan hadits Abu Huroiroh RA, ia berkata: “Ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW kemudian dia berkata, ‘Ya Rosululloh, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?’ beliau menjawab:
أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمَلُ الْغِنَى، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُوْمُ، قُلْتَ: لِفُلاَنٍ كَذَا، وَلِفُلاَنٍ كَذَا، وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ
‘Engkau bersedekah sementara engkau dalam keadaan sehat dan kikir (sayang dengan harta tersebut); engkau khawatir jatuh fakir dan mengangankan kekayaan, dan janganlah engkau menunda-nunda hingga nyawa sampai di tenggorokan; sehingga ketika itu engkau baru mengatakan: Untuk si Fulan sekian, untuk si Fulan sekian, dan harta itu untuk si Fulan.’ ” (Hadits Muttafaq ‘Alaih)
Termasuk juga membangun lembaga-lembaga bantuan sosial dan menyalurkan dananya kepada para mujahidin. Pekerjaan seperti ini bukan hanya menjadi tugas mujahidin saja, tetapi juga tugas para penuntut ilmu, para dai, bahkan semua orang yang memiliki semangat beragama Islam. Maka tugas ini wajib bagi semua kalangan. Dulu Nabi SAW juga mengumpulkan dana sumbangan di masjid dan mihrab beliau dan beliau mendorong orang untuk melakukannya. Disebutkan dari Mundzir bin Jarir, dari ayahnya, ia berkata: “Kami pernah berada di sisi Rosululloh SAW di awal suatu siang. Tiba-tiba datanglah sekelompok orang yang tak beralas kaki, tidak mengenakan pakaian; hanya memakai kain atau selendang sambil membawa pedang. Hampir seluruhnya, atau bahkan semuanya dari kabilah Mudhor. Wajah Rosululloh SAW berubah karena menahan marah karena melihat kefakiran yang mereka derita. Maka beliau masuk ke rumahnya kemudian keluar, lalu memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqomat. Setelah itu beliau melaksanakan sholat, setelah itu beliau berkhutbah: “Wahai umat manusia, bertakwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu…dst hingga akhir ayat (Surat An-Nisa: 1), —beliau juga membaca ayat yang ada dalam surat Al-Hasyr— “…bertakwalah kalian kepada Alloh dan hendaklah suatu jiwa melihat apa yang sudah ia kerjakan untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kalian kepada Alloh.” Hendaknya seseorang bersedekah dengan dinarnya, dengan dirhamnya, dengan pakaiannya, dengan satu sho‘ gandumnya, dengan satu sho‘ kurmanya –sampai beliau mengatakan—: “…walaupun dengan separuh buah kurma.” Maka datanglah seorang Anshor dengan sebuah kantong yang tangannya hampir tidak mampu membawanya, bahkan sudah tidak mampu. Setelah itu orang-orang mengikutinya hingga aku melihat dua tumpuk makanan dan pakaian, aku melihat wajah Rosululloh SAW menjadi bersinar seperti dilapisi emas, setelah itu beliau bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa merintis suatu jalan yang baik dalam Islam, ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa yang merintis jalan keburukan dalam Islam, ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
Dan dari Ibnu Abbas RA berkata, “Nabi SAW keluar di hari ’Id, kemudian beliau melaksanakan sholat dua rekaat, tidak ada sholat sebelum atau sesudahnya. Setelah itu beliau mengarah ke tempat kaum wanita bersama Bilal, lalu beliau menyampaikan wejangan kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk bersedekah, sampai ada wanita yang melemparkan gelang dan anting-antingnya.” (HR. Bukhori)
Nabi SAW bahkan menghasung isteri-isterinya dan mendidik mereka untuk gemar bersedekah. Di dalam Shohih Bukhori Muslim disebutkan dari hadits Aisyah RA: Bahwasanya sebagian isteri-isteri Nabi SAW mengatakan kepada Nabi SAW: “Siapakah dari kami yang paling cepat menyusulmu kelak?” Beliau menjawab: “Yang paling panjang tangannya.” Maka mereka mengambil sebilah bambu untuk mengukur tangannya, ternyata Saudah-lah yang paling panjang tangannya. Di kemudian hari, tahulah kami kalau yang beliau maksud adalah panjang tangan dalam urusan bersedekah, dan ternyata Suadah lah yang paling cepat menyusul Nabi SAW, dia adalah wanita yang gemar bersedekah.”
Para shahabat Nabi SAW juga berlomba-lomba dalam urusan sedekah. Utsman bin Affan RA misalnya, ia menanggung perbekalan Jaisyul ‘Usroh (tentara perang Tabuk), Abdurrohman bin Auf menginfakkan emas untuk fi sabilillah, Umar bin Khotob datang membawa separuh hartanya untuk fi sabilillah, Abu Bakar bahkan menginfakkan seluruh hartanya untuk fi sabilillah; infak yang mereka berikan itu tidak menghalangi mereka untuk ikut serta juga dalam jihad dengan jiwa. Sungguh, betapa mereka adalah para perwira, yang memberikan contoh terindah dalam berinfak dan berkorban demi membela agama mereka dan demi mencari keridhoan robb mereka.
Tidak usah kalian gubris orang-orang munafik, thoghut-thoghut dan “kaum modernis”[4] dan mereka-mereka yang berusaha keras menghalangi kaum musilmin untuk berjihad dengan hartanya sebagaimana menghalangi berjihad dengan jiwanya, melalui Majelis kufur bernama Sidang Parlementer (Pembuat Undang-Undang), atau melalui yayasan-yayasan lain yang mereka miliki, yang biasanya cara mereka untuk itu adalah dengan memunculkan istilah Ghosiilu `l-Amwal (Pencuci Uang) dan pengekangan Lembaga-lembaga sosial, dan istilah-istilah lain.
Mereka bukanlah orang-orang yang faham…sebagaimana kondisi orang-orang munafik yang disebutkan Alloh, di mana mereka berusaha menghalang-halangi keluarnya sedekah yang akan disampaikan kepada Rosululloh dan para mujahidin yang menyertai beliau, Alloh Ta‘ala berfirman:
هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ لا تُنفِقُوا عَلَى مَنْ عِندَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنفَضُّوا وَلِلَّهِ خَزَائِنُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَفْقَهُونَ
“Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasululloh supaya mereka bubar (meninggalkan Rosululloh).” Padahal kepunyaan Alloh-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” (QS. Al-Munafiqun: 7)
[1] Seperti anak-anak yatim dan ahli waris yang belum mukallaf.
[2] Lihat: Ad-Difa‘ ‘An Aroodhil Muslimin Ahammi Furuudhil A‘yaan, tulisan Syaikh DR. Abdulloh Azzam rahimahullah, dengan sedikit adaptasi.
[3] Koordinator di sini adalah orang yang mengurus segala urusan yang mempermudah dan mengatur pekerjaan dan urusan mujahidin, mengurus perjalanan mereka dan menyiapkan semua yang mereka perlukan, berupa harta, informasi, dan lain-lain.
[4] Syaikh kita, Ali Hudhori, punya sebuah artikel tentang kaum Modernis ini.
Komentar :
Post a Comment
Berikan Komentar Anda